Konsep dasar Dhf
ASKEP DHF
ASUHAN KEPERAWATAN DHF
A. Definisi
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah, 1995 ; 341).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I – IV dengan infestasi klinis dengan 5 – 7 hari disertai gejala perdarahan dan jika timbul tengatan angka kematiannya cukup tinggi (UPF IKA, 1994 ; 201)
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak – anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak – anak berusia di bawah 15 tahun disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan syok yang disebabkan virus dengue dan penularan melalui gigitan nyamuk Aedes. (Soedarto, 1990 ; 36).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).
B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).
C. PATOFISIOLOGI
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Demam berdarah dengue (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420)
D. Manifestasi KLINIS infeksi virus dengue
1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya. (Soedarto, 1990 ; 39).
2. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 jdari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura. ( Soedarto, 1990 ; 39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan gastrointestinat biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah, 1995 ; 349).
3. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita . (Soederita, 1995 ; 39).
4. Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. (soedarto ; 39).
KLASIFIKASI DHF
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA, 1994 ; 201) yaitu :
a. Derajat I
Panas 2 – 7 hari , gejala umumtidak khas, uji tourniquet hasilnya positif
b. Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya.
c. Derajat III
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai tekanan sistolik dibawah 80 mmHg. d. Derajat IV Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > - 140 mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
c. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah menurun, (120/80 ® 120/100 ® 120/110 ® 90/70 ® 80/70 ® 80/0 ® 0/0 )
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung ³ 140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
Derajat (WHO 1997):
a. Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.
c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan pasien menjadi gelisah.
d. Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
TANDA DAN GEJALA
Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dan gejala lain adalah :
- Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan.
- Asites
- Cairan dalam rongga pleura ( kanan )
- Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma.
Gejala klinik lain yaitu nyeri epigasstrium, muntah – muntah, diare maupun obstipasi dan kejang – kejang. (Soedarto, 1995 ; 39).
(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420)
E. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
Untuk mendiagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF) dapat dilakukan pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium yakni :
Trombositopenia (< 100.000 / mm3) , Hb dan PCV meningkat (> 20%) leukopenia (mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis (UPF IKA, 1994).
Pemeriksaan serologik yaitu titer CF (complement fixation) dan anti bodi HI (Haemaglutination ingibition) (Who, 1998 ; 69), yang hasilnya adalah
Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibodi HI adalah kurang dari 1/20 dan akan meningkat sampai < 1/1280 pada stadium rekovalensensi pada infeksi kedua atau selanjutnya, titer antibodi HI dalam fase akut > 1/20 dan akan meningkat dalam stadium rekovalensi sampai lebih dari pada 1/2560.
Apabila titer HI pada fase akut > 1/1280 maka kadang titernya dalam stadium rekonvalensi tidak naik lagi. (UPF IKA, 1994 ; 202)
Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulangkali (setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan) faal haemostasis x-foto dada, elektro kardio gram, kreatinin serum.
Dasar diagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF)WHO tahun 1997:
Klinis:
- Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
- Menifestasi perdarahan petikie, melena, hematemesis (test rumple leed).
- Pembesaran hepar.
- Syock yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, tekanan darah menurun, akral dingin dan sianosis, dan gelisah.
Laboratorium:
- Trombositopenia (< 100.000/ uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%. F. DIAGNOSA BANDING 1. Belum / tanpa renjatan : 1. Campak 2. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit exanthem, hepatitis, chikungunya) 2. Dengan renjatan 1. Demam tipoid 2. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain 3. Dengan perdarahan 1. Leukimia 2. Anemia aplastik 4. Dengan kejang 1. Ensefalitis 2. Meningitis G. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN Pemberantasan Dengue Haemoragic Fever (DHF) seperti juga penyakit menular laibn didasarkan atas pemutusan rantai penularan, terdiri dari virus, aedes dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terdapat virus itu maka pemberantasan ditujukan pada manusia terutama pada vektornya. (Soemarmo, 1998 ; 56) Prinsip tepat dalam pencegahan DHF (Sumarmo, 1998 ; 57) 1) manfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan pada saat hsedikit terdapatnya DHF / DSS 2) memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita veremia. 3) Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah pengambaran yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya. 4) Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi Menurut Rezeki S, 1998 : 22, Pemberantasan penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) ini yang paling penting adalah upaya membasmi jentik nyamuk penularan ditempat perindukannya dengan melakukan “3M” yaitu 1) Menguras tempat – tampet penampungan air secara teratur sekurang – kurangnya sxeminggu sekali atau menaburkan bubuk abate ke dalamnya 2) Menutup rapat – rapat tempat penampung air dan 3) Menguburkan / menyingkirkan barang kaleng bekas yang dapat menampung air hujan seperti ® dilanjutkan di baliknya. H. PENATALAKSANAAN DHF PADA ANAK Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat simtomatis dan suportif (Ngastiyah, 12995 ; 344) Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang – kadang tidak memerlukan perawatan, apabila orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah dengan kewaspadaan terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7 sakit ( Purnawan dkk, 1995 ; 571) Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA, 1994 ; 203) yaitu: - Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau kejang–kejang. - Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji torniquet positif/negatif, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan Ht/PCV meningkat. - Panas disertai perdarahan- perdarahan. - Panas disertai renjatan. Belum atau tanpa renjatan: 1. Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat I dan II D5 RL atau D5 Ringer Asetat 7 ml/kg BB/1 jam Baik ¯ PCV ¯ Nadi stabil Produksi urine Hb ¯ ¯ 5 ml/Kg BB/1 jam ¯ 3 ml/Kg BB/1 jam ¯ 24 – 48 jam Stabil Tanda vital berubah Baik Tidak baik ¯ PCV Nadi cepat & lemah Produksi urine ¯ ¯ 10 ml/Kg BB/1 jam ¯ 15 ml/Kg BB/1 jam ¯ Tidak baik PCV ¯ > 5
Disertai Hb ¯
¯
Darah
PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Plasma
Sumber : Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD x.
Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika dan “surface cooling”. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan asetaminofen,asetosal tidak boleh diberikan
Umur 6 – 12 bulan : 60 mg / kali, 4 kali sehari
Umur 1 – 5 tahun : 50 – 100 mg, 4 sehari
Umur 5 – 10 tahun : 100 – 200 mg, 4 kali sehari
Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4 kali sehari.
a. Oral ad libitum atau
b.1 infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 10 kg bersama – sama di berikan minuman oralit, air bauh susu secukupnya b.2 Untuk kasus yang menunjukan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak – banyaknya dan sesering mungkin. b.3 Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai berikut : · 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg · 75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg · 60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg · 50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg Obat-obatan lain : - antibiotika apabila ada infeksi sekunder lain - antipiretik untuk anti panas - darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat. Dengan Renjatan : 2. Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat III D5 RL atau D5 Ringer Asetat O2 10 - 20 ml/kg BB/1 jam Baik ¯ PCV ¯ Nadi stabil Produksi urine Hb ¯ ¯ 7 ml/Kg BB/1 jam ¯ 5 ml/Kg BB/1 jam ¯ 3 ml/Kg BB/1 jam Tidak baik ¯ PCV Nadi cepat & lemah Produksi urine ¯ PCV ¯ > 5
Disertai Hb ¯
¯
Darah
PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Koloid
+
Atasi Asidosis
Sumber : RSUD x.
Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
· 100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg · 75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg. · 60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg. · 50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg. b. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a. c. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membaik dilanjutkan dengan cairan RL dengan perhitungan sebagai berikut : kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a. 3. Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat IV D5 RL atau D5 Ringer Asetat O2 10 - 20 ml/kg BB/1 jam Bolus 30 menit Baik ¯ PCV ¯ Nadi stabil Produksi urine Hb ¯ ¯ 7 ml/Kg BB/1 jam ¯ 5 ml/Kg BB/1 jam ¯ 3 ml/Kg BB/1 jam Tidak baik ¯ PCV Nadi cepat & lemah Produksi urine ¯ PCV ¯ > 5
Disertai Hb ¯
¯
Darah
PCV tetap tinggi dari harga normal
¯
Koloid
+
Atasi Asidosis
Sumber : Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan cairan RL sebanyak 30 ml/Kg BB/1 jam, bila keadaan baik (T > 80 mmHg dan nadi < 120 x/menit, akral hangat lanjutkan dengan RL sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum tidak stabil infus RL dilanjutkan sampai perhitungan sebagai berikut : Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a. b. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum masih buruk. Tensi tak terukur dan nadi tak teraba maka klien harus dipasang infus 2 tempat dengan maksud satu tempat untuk RL 10ml/Kg BB/1 jam dan tempat lain untuk pemberian plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam selama 1 jam. Jika keadaan umum membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut : Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a. c. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum masih buruk. Tensi tak terukur secara palpasi dan nadi teraba cepat lemah, akral dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut : Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a. d. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum membaik tetapi tensi terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi > 120 x/menit akral hangat atau akral dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan dapat diulangi maksimal sampai 30 ml/Kg BB/24 jam. Jika keadaan umum membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a.
e. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 10 ml/Kg BB/1 jam tidak menunjukkan perbaikan T = 0, N = 0 maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi untuk dievaluasi kebenaran cairan yang dibutuhkan apabila sudah sesuai dengan yang masuk. Dalam hal ini perlu monitor dengan pemasangan CVP, gunakan obat Dopamin, Kortikosteroid dan perbaiki kelainan yang lain.
f. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30 ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T < 80, N > 120 x/menit), maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Jika reaksi perbaikan tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi.
g. Jika tata laksana grade IV sesudah memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30 ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T > 80, N < 120 x/menit), akral dingin maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan dapat diulangi maksimal sampai 30 ml/Kg BB/24 jam. Jika reaksi perbaikan tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi. Untuk kasus – kasus yang sudah memperoleh cairan 60 mg/Kg BB/2 jam pikirkan bahaya overload dan kemampuan kontraksi yang kurang. Dalam hal ini klien perlu diberikan Lasix 1 mg/Kg BB/kali dan Dopamin. PENGKAJIAN I. IDENTITAS - Umur: DHF merupakan penyakit daerah tropik yang sering menyebabkan kematian pada anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 ). - Jenis kelamin : secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan pada penderita DHF. Tetapi kematian lebih sering ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki. - Tempat tinggal : penyakit ini semula hanya ditemukan di beberapa kota besar saja, kemudian menyebar kehampir seluruh kota besar di Indonesia, bahkan sampai di pedesaan dengan jumlah penduduk yang padat dan dalam waktu relatif singkat. II. RIWAYAT KEPERAWATAN P (Provocative) : Virus dengue. Q (Quality) : Keluhan dari ringan sampai berat. R (Region) : Semua sistem tubuh akan terganggu. S (Severity) : Dari Grade I, II, III sampai IV. T (Time) : Demam 5 – 8 hari, ruam 5 – 12 jam. 1. Keluhan Utama Penderita mengeluh badannya panas (peningkatan suhu tubuh) sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun. 2. Riwayat Keperawatan Sekarang Panas tinggi (Demam) 2 – 7 hari, nyeri otot dan pegal pada seluruh badan, ruam, malaise, mual, muntah, sakit kapala, sakit pada saat menelan, lemah, nyeri ulu hati dan penurunan nafsu makan (anoreksia), perdarahan spontan. 3. Riwayat Keperawatan Sebelumnya Tidak ada hubungannya antara penyakit yang pernah diderita dahulu dengan penyakit DHF yang dialami sekarang, tetapi kalau dahulu pernah menderita DHF, penyakit itu bisa terulang. 4. Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat adanya penyakit DHF didalam keluarga yang lain (yang tinggal didalam satu rumah atau beda rumah dengan jarak rumah yang berdekatan) sangat menentukan karena ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty. 5. Riwayat Kesehatan Lingkungan DHF ditularkan oleh 2 jenis nyamuk, yaitu 2 nyamuk aedes: - Aedes aigepty: Merupakan nyamuk yang hidup di daerah tropis terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu pada tempat penampungan air bersih, seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan. Dengan jarak terbang nyamuk + 100 meter. - Aedes albapictus. 6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak a. Faktor Keturunan ; yaitu faktor gen yang diturunkan dari kedua orang tuanya. b. Faktor Hormonal ; banyak hormon yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, namun yang paling berperan adalah Growth Hormon (GH). c. Faktor Gizi ; Setiap sel memerlukan makanan atau gizi yang baik. Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik dibutuhkan gizi yang baik. d. Faktor Lingkungan; Terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan psikososial. Teori kepribadian anak menurut Teori Psikoseksual Sigmund Freud meliputi tahap a. Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun b. Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun c. Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun d. Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun e. Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun Tahap-tahap perkembangan anak menurut Teori Psikososial Erik Erikson : a. Bayi (oral) usia 0 - 1 Tahun b. Usia bermain (Anal ) yakni 1 - 3 Tahun c. Usia prasekolah (Phallic) yakni 3 - 6 Tahun d. Usia sekolah (latent) yakni 6 - 12 tahun e. Remaja (Genital) yakni 12 tahun lebih f. Remaja akhir dan dewasa muda g. Dewasa h. Dewasa akhir Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak a. Faktor keturunan (genetik) Seperti kita ketahui bahwa warna kulit, bentuk tubuh dan lain-lain tersimpan dalam gen. Gen terdapat dalak kromosom, yang dimiliki oleh setiap manusia dalam setiap selnya. Baik sperma maupun ovum masing masing mempunyai 23 pasang kromosom. Jika ovum dan sperma bergabung akan terbentuk 46 pasang kromosom, yang kemudian akan terus smembelah untuk memperbanyak diri sampai akhirnya terbentuk janin, bayi. Setiap kromosom mengandung gen yang mempunyai sifat diturunkan pada anak dari keluarga yang memiliki abnormalitas tersebut. b. Faktor Hormonal Kelenjar petuitari anterior mengeluarkan hormon pertumbuhan (Growth Hormone, GH) yang merangsang pertumbuhan epifise dari pusat tulang panjang. Tanpa GH anak akan tumbuh dengan lambat dan kematangan seksualnya terhambat. Pada keadaan hipopetuitarisme terjadi gejala-gejala anak tumbuh pendek, alat genitalia kecil dan hipoglikemi. Hal sebaliknya terjadi pada hiperfungsi petuitari, kelainan yang ditimbulkan adalah akromegali yang diakibatkan oleh hipersekresi GH dan pertumbuhan linear serta gigantisme bila terjadi sebelum pubertas. Hormon lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon-hormon dari kelenjar tiroid dan lainya. c. Faktor Gizi. Proses tumbuh kembang anak berlangsung pada berbagai tingkatan sel, organ dan tumbuh dengan penambahan jumlah sel, kematangan sel, dan pembesaran ukuran sel. Selanjutnya setiap organ dan bagian tubuh lainnya mengikuti pola tumbuh kembang masing-masing. Dengan adanya tingkatan tumbuh kembang tadi akan terdapat rawan gizi. Dengan kata lain untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan gizi yang baik. d. Faktor Lingkungan - Lingkungan fisik; termasuk sinar matahari, udara segar, sanitas, polusi, iklim dan teknologi - Lingkungan biologis; termasuk didalamnya hewan dan tumbuhan. Lingkungan sehat lainnya adalah rumah yang memenuhi syarat kesehatan. - Lingkungan psikososial; termasuk latar belakang keluarga, hubungan keluarga. e. Faktor sosial budaya - Faktor ekonomi, sangat memepengaruhi keadaan sosial keluarga. - Faktor politik serta keamanan dan pertahanan; keadaan politik dan keamanan suatu negara juga sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang seorang anak. Teori Kepribadian Menurut Sigmund Freud Kepribadian ialah hasil perpaduan antara pengaruh lingkungan dan bawaan, kualitas total prilaku individu yang tampak dalam menyesuaikan diri secara unit dengan lingkungannya. Tiori kpribadian yang dikemukakan oleh ahli psikoanlisa Sigmund freud (1856 - 1939). Meliputi tahap-tahap a. Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun b. Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun c. Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun d. Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun e. Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun 2. Tahap perkembangan anak menurut Erik Erikson Erikson mengemukakan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan manusia mengalami 8 fase yang saling terkait dan berkesinambungan TUGAS PERKEMBANAGAN BILA TUGAS PERMKEMBANGAN TIDAK TERCAPAI Bayi (0 - 1 tahun) - Rasa percaya mencapai harapan, - Dapat menghadapi frustrasi dalam jumlah kecil - Mengenal ibu sebagai orang lain dan berbeda dari diri sendiri. - Tidak percaya Usia bermain (1 - 3 Tahun) - Perasaan otonomi. - Mencapai keinginan - Memulai kekuatan baru - Menerima kenyataan dan prinsip kesetiaan - Malu dan ragu-ragu Usia pra sekolah ( 3 - 6 Tahun) - Perasaan inisiatif mencapai tujuan - Menyatakan diri sendiri dan lingkungan - Membedakan jenis kelamin. - Rasa bersalah. Usia sekolah ( 6 - 12 Tahun) - Perasaan berprestasi - Dapat menerima dan melaksanakan tugas dari orang tua dan guru Rasa rendah diri Remaja ( 12 tahun lebih) - Rasa identitas - Mencapai kesetiaan yang menuju pada pemahaman heteroseksual. - Memilih pekerjaan - Mencapai keutuhan kepribadian Difusi identitas Remaja akhir dan dewasa muda - Rasa keintiman dan solidaritas - Memperoleh cinta. - Mampu berbuat hubungan dengan lawan jenis. - Belajar menjadi kreatif dan produktif. - Isolasi Dewasa - Perasaan keturunan - Memperoleh perhatian. - Belajar keterampilan efektif dalam berkomunikasi dan merawat anak - Menggantungkan minat aktifitas pada keturunan - Absorpsi diri dan stagnasi Dewasa akhir - Perasaan integritas - Mencapai kebijaksanaan - keputusasaan TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK USIA SEKOLAH : 6 – 12 TAHUN Tahap pertumbuhan Berat badan pada usia sekolah sebagai pedomannya adalah : Tinggi badan : Umur (tahun) x 6 x 7 Tahap perkembangan Menurut Teori Psikososial Erik Erikson : Anak usia 6 – 12 tahun termasuk tahap : Industry Versus Inferioritas (Rendah diri). Berfokus pada hasil akhir suatu pencapaian (membuat sesuatu sampai selesai). Anak memperoleh kesenangan dari penyelesaian tugasnya atau pekerjaannya dan menerima penghargaan untuk usahanya. Jika anak tidak mendapat penerimaan dari teman sebayanya atau tidak dapat memenuhi harapan orang tuanya, akan merasa rendah diri, kurang menghargai dirinya untuk dapat berkembang. Jadi fokus pada anak sekolah adalah pada hasil prestasinya, pengakuan dan pujian dari keluarganya, guru dan temas sebaya. Perkembangan adalah pengertian dari persaingan/kompetisi dan kerajinannya. Menurut Perkembangan Intelektual oleh Piaget : Termasuk tahap : Konkrit Operasional. (1) Anak mempunyai pemikiran logis terarah, dapat mengelompokkan fakta-fakta, berfikir abstrak. (2) Anak mulai dapat mengatasi masalah secara nyata dan sistematis. Menurut Teori Psikoseksual Sigmund Freud : Termasuk fase : Laten (5 – 12 tahun). (1) Anak masuk ke permulaan fase pubertas. (2) Anak masuk pada periode integrasi, dimana anak harus berhadapan dengan berbagai tuntutan sosial, contoh : hubungan kelompok, pelajaran sekolah, dll. (3) Fase tenang. (4) Dorongan libido mereda sementara. (5) Zona erotik berkurang. (6) Mulai tertarik dengan kelompok sebaya (peer group). III. PEMERIKSAAN FISIK / PENGKAJIAN PERSISTEM 1. Sistem Pernapasan / Respirasi Sesak, perdarahan melalui hidung (epistaksis), pernapasan dangkal, tachypnea, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, effusi pleura (crackless). 2. Sistem Cardiovaskuler Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni. Pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat (tachycardia), penurunan tekanan darah (hipotensi), cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari. Pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur. 3. Sistem Persyarafan / neurologi Nyeri pada bagian kepala, bola mata dan persendian. Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat terjadi DSS 4. Sistem perkemihan Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah. 5. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran pada hati (hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa diserta dengan ikterus, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat muntah darah (hematemesis), berak darah (melena). 6. Sistem integumen Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering, ruam makulopapular, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi bintik merah seluruh tubuh/ perdarahan dibawah kulit (petikie), pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit. IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia). 2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler 3. Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler 4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. 5. Resiko terjadinya cidera (perdarahan) berhubungan dengan penurunan factor-fakto pembekuan darah ( trombositopeni ) 6. Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdaahan 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya informasi. Diagnosa Keperawatan, Tujuan, Kriteria Hasil, Intervensi & Rasional 1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia). Tujuan : Suhu tubuh normal kembali setelah mendapatkan tindakan perawatan. Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37, membran mukosa basah, nadi dalam batas normal (80-100 x/mnt), Nyeri otot hilang. Intervensi : a. Berikan kompres (air biasa / kran). Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara konduksi b. Berikan / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi ) Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi. c. Anjurkan keluarga agar mengenakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat pada klien. Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh. d. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali atau lebih sering. Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. e. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat antipiretik sesuai program. Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien. 2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler. Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan / Tidak terjadi syok hipovolemik. Kriteria : Input dan output seimbang, Vital sign dalam batas normal (TD 100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt), Tidak ada tanda presyok, Akral hangat, Capilarry refill < 3 detik, Pulsasi kuat. Intervensi : a. Observas vital sign tiap 3 jam/lebih sering Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler b. Observasi capillary Refill Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer c. Observasi intake dan output. Catat jumlah, warna, konsentrasi, BJ urine. Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi. d. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari (sesuai toleransi) Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral e. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena, plasma atau darah. Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic syok. 3. Resiko Syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler. Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal Intervensi : a. Monitor keadaan umum pasien Raional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok b. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi presyok / syok c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi perdarahan Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan. d. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat. e. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut. 4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan, Nafsu makan meningkat, porsi makanan yang disajikan mampu dihabiskan klien, mual dan muntah berkurang. Intervensi : a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi b. Observasi dan catat masukan makanan pasien Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi makanan c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan ) Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi. d. Berikan / Anjurkan pada klien untuk makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu makan Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster. e. Berikan dan Bantu oral hygiene. Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral f. Hindari makanan yang merangsang (pedas / asam) dan mengandung gas. Rasional : Mencegah terjadinya distensi pada lambung yang dapat menstimulasi muntah. g. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang penting nutrisi/ makanan bagi proses penyembuhan. h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat. i. Anjurkan pada klien untuk menarik nafas dalam jika mual. j. Kolaborasi dalam pemberian diet lunak dan rendah serat. k. Observasi porsi makan klien, berat badan dan keluhan klien. 5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan factor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni ). Tujuan : Tidak terjadi perdarahan selama dalam masa perawatan. Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat, tidak ada perdarahan spontan (gusi, hidung, hematemesis dan melena), trombosit dalam batas normal (150.000/uL). Intervensi : a. Anjurkan pada klien untuk banyak istirahat tirah baring ( bedrest ) Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. b. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang bahaya yang dapat timbul akibat dari adanya perdarahan, dan anjurkan untuk segera melaporkan jika ada tanda perdarahan seperti di gusi, hidung(epistaksis), berak darah (melena), atau muntah darah (hematemesis). Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi perdarahan. c. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah dan Observasi tanda-tanda perdarahan serta tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan). Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut. d. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium secara berkala (darah lengkap). e. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis. Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike. f. Monitor trombosit setiap hari Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien. g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi (trombosit concentrate). DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Ngastiyah (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga. Surabaya.
(1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya
POSTED BY : gayuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar