KONSEP DASAR
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi dan Sistem Integumen
1. Sistem reproduksi wanita
Menurut Farrer (2001 : 18), anatomi dan fisiologi sistem reproduksi wanita terdiri atas :
a. Genetalia eksterna
Genetalia eksterna sering dinamakan vulva, yang artinya pembungkus atau penutup vulva terdiri dari :
1) Mons pubis
Merupakan bantalan jaringan lemak yang terletak di atas simpisis pubis. Mons pubis berfungsi sebagai bantal pada waktu melakukan hubungan badan.
2) Labia mayora
Labia mayora (bibir besar) terdiri atas dua buah lipatan kulit dengan jaringan lemak dibawhanya yang berlanjut ke bawah sebagai perluasan dari mons pubis dan menyatu menjadi perineum. Sebagai pelindung dari lubang masuk vgina.
3) Labia minora
Labia minora (bibir kecil) merupakan dua buah lipatan tipis kulityang terletak di sebelah dalam labia mayora. Labia minora tidak memiliki lemak subkutan. Permukaan internalnya biasanya saling bersentuhan, sehingga menambahkan pengamanan pada lubang vgina.
4) Klitoriss
Merupakan tonjolan kecil jaringan erektil yang terletak pada titik temu labia minora di sebelah anterior, sebagai salah satu zona erotikk yang utama pada wanita.
5) Vestibulum
Vestibulum adalah rongga yang dikelilingi oleh labia minora. Arifisium dan arifisium vagina bermuara di vestibulum. Arifisium vagina ditutupi oleh lipatan selaput tipis yang disebut hymen, yaitu sebagai penutup seluruh lubang masuk vgina. Saluran kelenjar Bartholini bermuara di sebelah luar hymen. Kedua kelenjar Bartholini mengeskpresikan bahan pelumas miokard, khususnya ketika gairah sekess meningkat.
6) Perineum
Struktur ini membentang dari fourchette (titik temu labia minora di sebelah posterior) hingga anus.
b. Genetalia interna
1) Vgina
Merupakan saluran fibromuskuler elastis yang membentang ke atas dan ke belakang dari vulva hingga uterus. Dinding anterior vagina memiliki panjang ± 7,5 cm dan dinding posteriornya ± 9 cm. Dinding vagina tersusun dalam lipatan (rugae) yang memungkinkan vagina untuk mengembang sampai luas sekali jika dibutuhkan, sehingga dapat dilalaui kepala bayi ketika melahirkan.
Empat fungsi vgina :
a) Lintasan bagi spermatozoa
b) Saluran keluar bagi janin dan produk pembuahan lainnya saat persalinan
c) Saluran keluar bagi darah haid
d) Dengan sekretnya yang asam bisa menghalangi penjalaran infeksi secara asenderen
2) Uterus
Merupakan organ muskular yang berongga, berdinding tebal dan terletak di antara kandung kemih di sebelah anteriornya dan rectum di sebelah posterior. Korpus terdiri dari dua bagian, korpus terdiri dari dua bagian, korpus dan serviks. Panjang uterus 7,5 cm lebar 5,5 cm kedalaman 2,5 cm, dinding uterus sangat tebal ± 1,2 cm.
Uterus terdiri dari :
a) Fundus uteri (dasar rahim)
b) Korpus uteri
Berfungsi sebagai tempat janin berkembang
c) Servik uteri
Ujung servik yang menuju puncak vagina disebut possio (Syaiffudin, 1997 : 115)
Dinding uterus terdiri dari (Syaiffudin, 1997 : 115)
a) Endometrium
Merupakan lapisan dalam uterus. Pada kehamilan endometrium akan menebal, pembuluh darah bertambah banyak yang diperlukan untuk memberi makan pada janin.
b) Miometrium (lapisan otot polos)
Mendorong isinya keluar pada waktu persalinan, setelah plasenta lahir akan mengalami pengecilan sampai keukuran normal sebelumnya.
c) Lapisan serosa (peritoneum visceral)
Terdiri atas ligamentum-ligamentum yang menguatkan uterus. Fungsi uterus adalah :
(1) Menyediakan tempat yang sesuai bagi ovum yang sudah dibuahi untuk menanamkan diri.
Jika korpus luteum tidak berdegenerasi, yaitu jika korpus luteum dipertahankan oleh kehamilan, maka estrogen akan terus diproduksi sehingga kadarnya tetap berada di atas nilai ambang perdarahan haid dan amenorhea merupakan salah satu tanda pertama untuk kehamilan.
(2) Memberikan perlindungan dan nutrisi kepada embrio atau janin sampai matur.
(3) Mendorong keluar janin dan plasenta pada persalinan.
(4) Mengendalikan perdarahan dari tempat perlekatan plasenta melalui kontraksi otot-otot.
(5) Tempat terjadinya perombakan dinding endometrium atau menstruasi
Tanpa adanya kehamilan, korpus luteum akan berdegenerasi serta berhenti memproduksi hormon-hormonnya dan kadar estrogen akan turun mengakibatkan pertumbuhan endometrium dan sekresinya akan berhenti. Pembuluh-pembuluh anterior akan spasme, sehingga terjadi iskhemia, sel-selnya mati akibat kekurangan darah terjadilahl hemoragi dalam endometrium. Lapisan endometrium akan terombak bersama darah menjadi darah haid atau menstruasi.
3) Tuba fallopi
Tuba fallopi juga dikenal dengan oviduct (saluran telur) saluran ini terdapat pada setiap sisi uterus dan membentang dari kornu uteri ke arah dinding lateral pelvis. Panjang tuba ± 10 cm, tuba berjalan melengkung dan berputar ke arah posterior.
4) Ovarium
Merupakan kelenjar kelamin (gonad). Ada dua buah ovarium yang masing-masing terdapat pada setiap sisi dan berada di dalam kavum abdomen di belakang ligamenetum latum dekat ujung fibria tuba fallopi. Ovarium merupakan struktur berwarna putih kelabu dengan permukaan yang tidak teratur dan berukuran sekitar 3 cm x 1,5 cm.
Fungsi ovarium :
a) Produksi, penyimpanan serta pematangan folikel-folikel ovarium dan pelepasan ovum.
b) Produksi horon ovarium, yaitu estrogen dan progesteron
c. Pelvis
Pelvis terdirid dari tulang panggul dan jaringan lunak (Verrals, 1997 : 31)
1) Tulang panggul
Tulang panggul tersusun atas
a) Os. Sacrum
b) Os. Coccygys
c) Os. Coxae kanan dan kiri
2) Jaringan lunak
Jaringan lunak pelvis terdiri dari sendi-sendi atau articulation dan ligamentum pelvis.
a) Articulatio sacroiliaca
b) Symphipis pubis
c) Articulatio saccrococcygea
2. Sistem integumen
Anatomi integumen dalam hubungannya dengan tindakan SC menurut Hamilton (1995 : 65) adalah :
Kulit
Merupakan organ terbesar tubuh yang terdiri dari berbagai lapisan-lapisan, antara lain :
a. Lapisan epidermis
Yaitu bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi. Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya sangat rapat. Bagian ini mengalami stratifikasi menjadi lima lapisan berikut :
1) Stratum basalis
2) Stratum spinosum
3) Stratum granulosum
4) Stratum lusidum
5) Stratum korneum
b. Lapisan dermis
Merupakan lapisan kedua dari kulit, dermis terdiri dari 2 lapisan :
1) Bagian atas, pars papilaris (stratum papilar)
2) Bagian bawah, pars tehkularis (stratum retikularis)
c. Lapisan subkutan
Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak, berisi banyak pembuluh darah dan ujung syaraf. Lapisan ini mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Dalam hubungannya dengan tindaakn SC, lapisan ini adalah pengikat organ-organ yang ada di abdomen, khususnya uterus. Organ-organ di abdomen dilindungi oleh selaput tipis yang disebut peritonium. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus.
B. Pengertian
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan yang terhitung dari saat persalinan sampai pulih kembali alat kandungan ke keadaan sebelum hamil yang berlangsung kurang lebih 6 minggu (Depkes RI, 1997 : 157).
Menurut Prawirohardjo (2001 : 122) masa nifas adalahl dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung selama ± 6 minggu.
Menurut Hamilton (1995 : 281) menambahkan masa nifas adalah waktu penyembuhan dan perubahan waktu kembali pada keadaan tidak hamil dan penyesuaian terhadap penambahan keluarga baru.
Sectio caesaria (SC) adalah suatu cara melahirkan janin pada dinding sayatan uterus melalui dinding depan perut (Mochtar, 1998 : 117).
Menurut Prawirohardjo (2000 : 863) SC adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan di atas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh.
Cephalo pelvic disproportion (CPD) adalah ketidakseimbangan janin dengan panggul ibu (Mochtar, 1998 : 319).
C. Penyebab dan Faktor Predisposisi
1. CPD
Mochtar (1998 : 375) mengemukakan bahwa penyebab chephalo pelvic disproporsi adalah sebagai berikut :
a. Faktor ibu : panggul sempit
b. Faktor janin : hydrocephalus, janin besar
2. SC
Idikasi secara umum dilakukan tindakan SC dibagi dalam 2 kategori :
a. Faktor ibu
Yaitu pre eklamsi dan hipertensi, CPD, plasenta previa, partus lama, partus tak maju, ruptur uteri (Mochtar, 1998 : 118). Sedangkan Manuaba (1998 : 339) menambahkan dari faktor ibu yaitu ruptur uteri, KPD.
b. Faktor janin
Yaitu letak lintang, letak bokong, gemeli, presentasi dahi dan muka (Mochtar, 1998 : 118).
Menurut Manuaba (1990 : 339) menambahkan yaitu aspirasi air ketuban dan mekonium, dislokasi persendian, ruptur alat vital seperti hati dan lien bayi juga merupakan indikasi dilakukan SC.
D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis post SC
Manifestasi klinis post SC menurut Bobak and Jensen (2000 : 316)
a. Nyeri pada daerah insisi
b. Gelisah
c. Mudah tersinggung
d. Nafas tidak teratur
e. Takut untuk mobilisasi dan aktifitas
Menurut Mochtar (1998 : 119) adalah mual, muntay, perut kembung dan anemia. Pengeluaran lokhea yang sedikit dapat terjadi karena pemberian hematoris, tetapi penurunan tonus uterus akibat anestesi dapat menyebabkan pendarahan post partum (Reeder, 1997 : 215).
2. Manifestasi klinik nifas
Menurut Depkes RI (1997 : 158) adalah suhu agak naik beberapa hari setelah persalinan yaitu antara 37,2°C – 37,5°C. Bila suhu melebihi 38°C dianggap tidak wajar. Nadi setelah persalinan mungkin lebih lambat karena ibu dalam keadaan istirahat penuh, miksi kesukaran dalam buang air keciol tetapi pembentukan urine oleh ginjal meningkat, defekasi umumnya mengalami sembelit pada hari pertama setelah persalinan, tinggi dasar rahim makin hari makin rendah seiring dengan mengecilnya rahim. Lochea hari pertama dan kedua rubra, kemudian sanguilenta, alba dan serosa.
Manifestasi klinik fisiologi pada pasien post partum menurut Hamilton (1995 : 288) adalah
a. Involusi uteri
Segera setelah melahirkan, ukuran dan konsistensi uterus kira-kira seperti buah melon kecil dan fundusnya terletak tepat di umbilicus. Setelah itu TFU berkurang 1-2 cm setiap hari sampai akhir minggu pertama, saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Sampai minggu ke-6 normalnya uterus seperti sebelum hamil-involusi uterus menjadi lambat bila uterus terinfeksi.
b. Lokhea
Lokhea adalah keluaran uterus setelah melahirkan. Terdiri dari darah, sel-sel tua dan bakteri. Jumlah dan karakternya berubah dari hari ke hari. Pada awalnya jumlah sangat banyak, sedang dan biasanya berhenti dalam 2 minggu. Warna digambarkan dengna rubra untuk merah segar, serosa untuk serum kecoklatan, dan alba untuk kuning keputihan. Normalnya lokhea memiliki bau seperti darah haid. Bau amis atau busuk menandakan terjadinya infeksi.
c. Afterpain
Afterpain adalah rasa sakit saat kontraksi yang dialami oleh ibu multipara selama 3-4 hari pertama post partum karena menyusui merangsang kontraksi uterus, maka afterpain terjadi saat ibu menyusui bayinya.
d. Payudara
Selama 9 bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir. Setelah melahirkan, hormon progesteron dan estrogen menurun, kelenjar pituitari mengeluarkan prolaktin. Sampai hari ke-3 setelah melahirkan terbukti adanya efek prolaktin pada payudara. Pembuluh dalam payudara menjadi bengkak berisi darah, hangat dan nyeri. Sel-sel penghasil ASI mulai mencapai dan ASI mulai mencapai puting melalui saluran susu melalui, menggantikan colostrum yang telah mendahuluinya, kemudian laktasi dimulai.
E. Patofisiologi
Menurut Hamilton (1995 : 125) apabila hasil pengukuran pelvik minimal, kepala bayi cukup dalam posisi normal serta kontraksi kuat, maka akan dilakukan persalinan percobaan, bila bayi turun dengan normal persalinan, pervaginam dapat diteruskan dan bila tidak ada kemajuan turunnya kepala bayi di lakukan SC.
Pada kondisi CPD, his yang kuat dapat menyebabkan ruptur uteri dan dengan persalinan tak maju akan mengakibatkan iskhemia dan nekrosis (Manuaba, 1998 : 230).
Menurut Mochtar (1998 : 120), anestesi pre operasi mengakibatkan depresi syaraf pernafasan sehingga akan terjadi penurunan kesadaran. Selain itu juga dapat terjadi penurunan tonus uterus yang akan menyebabkan adanya perdarahan. Akibat anestesi yang lain adalah depresi pada syaraf genitourinaria yang mengakibatkan penurunan otot saluran kemih, sehingga terjadi perubahan eliminasi urin atau retensi urin.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CPD
Untuk memastikan memadai tidaknya keadaan pelvis untuk dilakukan persalinan perlul dilakukan pemeriskaan, diantaranya (Verrals, 1997 : 42).
a. Pemeriksaan umum, meliputi :
1) Asal etnik
2) Tinggi badan
3) Berat badan
4) Ukuran pinggang
b. Riwayat obstetrik
Apabila wanita primigravida melahirkan bayi dengan ukuran tidak memadai atau mempunyai riwayat kelahiran dengan SC, maka tidak bisa dianggap bahwa pelvisnya memadai, diperlukan pemeriksaan lanjut.
c. Pengukuran luar
Biasanya menggunakan alat pelvimeter. Ada 3 pengukuran yang dapat dilakukan dengan pelvimeter. Antara lain :
1) Diameter interspinalis
2) Diameter inter cristalis
3) Konjugata eksterna
d. Palpasi abdomen
Dilakukan pada kehamilan minggu ke-36 sampai ke-37. Jika kepala fetus tidak dapat diturunkan memasuki pintu masuk pelvis, maka perlu pemeriksaan lanjut untuk mengukuhkan kekuatan pelvis.
e. Pelvimetri sinar-x
Merupakan metoda yang tepat untuk menaksir hubungan antara pelvis ibu dan kepala fetus.
2. Post SC
Pemeriksaan pada pasien pasca partum menurut (Bobak dan Jensen, 2005 : 523) meliputi :
a. Tanda-tanda infeksi
b. Uji laboratorium rutin
c. Farmakoterapi
G. Pathway dan Masalah Keperawatan
H. Penatalaksanaan
Menurut Mochtar (1998 : 155) penatalaksanaan pasca bedah diantaranya :
1. Perawatan luka insisi
Perawatan pertama yang dilakukan setelah selesai operasi adalahl pembalut luka atau wound dressing, dengan baik secara persodik pembalut luka diganti dan dibersihkan dengan alkohol dan larutan suci hama (larutan betadine dan sebagainya). Dibuat pula catatan kapan dilakukan hecting up, perhatikan apakah luka sembuh perprimum atau terdapat eksudat.
2. Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasca operasi pasien puasa, maka pept-Language: kebutuhan. Bila Hb rendah diberikan tranfusi (PRC).
3. Diit
Setelah pasien pasca bedah flatus, pemberian cairan perinfus dihentikan digantikan dengan makanan dan minuman per oral. Adapun makanan diberikan mulai dari bubur saring, minuman sari buah dan susu, selanjutnya bubur secara bertahap dan akhirnya makan biasa.
4. Nyeri
Biasanya 24 jam pertama nyeri dirasakan di daerah operasi. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan analgesik dan penenang.
5. Mobilisasi
Mobilisasi bertahap sangat berguna untuk membantu penyembuhan. Miring kanan-miring kiri dimulai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan nafas dilakukan sedini mungkin sambil tidur pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 5 menit sambil nafas dalam disertai batuk-batuk kecil guna melonggarkan pernafasan.
6. Kateterisasi
Dilakukan bila tidak ada luka robekan yang luas pada jalan lahir kandung kemih yang penuh menimbulkan nyeri, menghalangi dan menyebabkan perdarahan. Karena itu dianjurkan pemasangan kateter tetap selama 24 – 48 jam atau lebih lama lagi.
7. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotika, kemoterapi dan anti inflamasi
Sebelum diberikan harus dilakukan sensivitas test (tes alergi) terdahulu melalui injeksi intra kutan.
b. Pencegah perut kembung
Contohnya : plasil, primperan, prostigmi
c. Obat-obatan lainnya
Biasanya roborantia, anti inflamasi, bahan transfusi darah bagi pasien anemis.
8. Perawatan rutin
Dilakukan pemeriksaan rutin atau check up setelah selesai operasi sekurang-kurangnya dilakukan setiap 4 jam sekali. Misal : pengukuran TTV, pengukuran balance cairan (input-output).
I. Fokus Intervensi
Diagnosa keperawatan dan intervensi yang muncul pada post sectio caesarea adalah (Doenges and Moorhouse, 2001 : 339).
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan.
Intervensi :
a. Tentukan karakteristik dan lokasi ketidaknyamana, perhatikan isyarat verbal dan non verbal meringis, gerakan melindungi atau terbakar.
b. Lakukan latihan nafas dalam.
c. Anjurkan ambulasi dini.
d. Evaluasi tekanan darah dan nadi.
e. Anjurkan tirah baring pada posisi datar berbaring tingkatkan cairan.
f. Anjurkan tekhnik pernafasan, relaksasi dan distraksi.
g. Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan yang berbahaya dan berikan gerakan punggung.
h. Evaluasi rasa sakit secara reguler, catat karakteristik, lokasi dan intensitas.
i. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, tindakan invasif.
Intervensi :
a. Anjurkan dan gunakan tehnik mencuci tangan dengan benar.
b. Bersihkan luka dengan anti balutan bila basah.
c. Perhatikan jumlah dan lochea.
d. Kaji suhu nadi dan jumlah sel darah putih.
e. Perhatikan perawatan perineal dan kateter.
f. Inspeksi insisi terhadap proses penyembuhan, perhatikan kemerahan, edema, nyeri eksudat atau gangguan penyembuhan.
g. Inspeksi abdominal terhadap rembesan, lepaskan balutan sesuai indikasi.
h. Inspeksi sekitar infus terhadap tanda eritema atau nyeri tekan.
i. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot dan efek anestesi.
Intervensi :
a. Identifikasi aktifitas pasien.
b. Anjurkan cairan oral yang adekuat.
c. Anjurkan ambulasi dini.
d. Auskultasi terhadap adanya bising usus.
e. Anjurkan diit buah dan sayuran.
f. Kolaborasi dalam pemberian laksatif.
4. Kurang pengetahuan mengenai periode pemulihan, perawatan diri dan kebutuhan perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi :
a. Berikan rencana penyuluhan dengan menggunakan format yang distandarisasi.
b. Perhatikan status psikologi pasien dan respon terhadap kelahiran bayi dan peran menjadi ibu.
c. Anjurkan partisipasi dalam perawatan diri pasien bila mampu.
d. Demonstrasikan tehnik-tehnik perawatan diri.
e. Wajib persiapan dan motivasi pasien untuk belajar bantu pasien dalam mengidentifikasi kebutuhan.
5. Berduka berhubungan dengan kematian bayi atau janin.
Intervensi :
a. Libatkan pasangan dalam perencanaan perawatan.
b. Identifikasi ekspresi terhadap berduka.
c. Tentukan makna kehilangan terhadap kedua anggota pasangan.
d. Perhatikan pola komunikasi antara anggota pasangan dan sistem pendukung.
e. Anjurkan keluarga untuk mengekspresikan perasaan dan mendengar.
f. Kaji beratnya depresi.
6. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan transisi atau peningkatan anggota keluarga.
Intervensi :
a. observasi dan catat interaksi keluarga bayi, perhatikan perilaku yang dianggap menandakan ikatan dan kedekatan dalam budaya tertentu.
b. Sambutan keluarga untuk kunjungan singkat segera bila kondisi ibu bayi memungkinkan.
c. Berikan informasi sesuai kebutuhan tentang keamanan dan kondisi bayi.
d. Perhatikan pengungkapan atau perilaku yang menunjukkan kekecewaan atau kurang minat atau kedekatan.
e. Anjurkan dan bantu dalam menyusui tergantung pada pilihan pasien.
7. Resiko tinggi terhadap cidera berhubungan dengan efek-efek anestesi trauma jaringan.
Intervensi :
a. Anjurkan ambulasi dini dan latihan.
b. Bantu pasien pada ambulasi dini.
c. Pantau tekanan darah, nadi dan suhu.
d. Inspeksi balutan terhadap perdarahan berlebihan.
e. Inspeksi insisi secara teratur, perhatikan tanda perlambatan atau perubahan penyembuhan.
f. Perhatikan karakter dan jumlah aliran lokhea dan konsistensi fundus.
8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi penurunan kekuatan dan ketahana, ketidaknyamanan fisik.
Intervensi :
a. Kaji berat atau durasi ketidaknyamanan
b. Kaji status atau durasi ketidaknyamanan
c. Ubah posisi setiap 1-2 jam bantu dalam latihan ambulasi dan latihan kaki.
d. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dengan hygiene.
e. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
9. Ketidakefektifan sesuai berhubungan dengan tingkat pengetahuan pengalaman sebelumnya sesuai usia gestasi bayi, struktur atau karakteristik fisik payudara ibu.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan dan pengalaman pasien tentang menyusui sebelumnya.
b. Demonstrasikan dan tinjau ulang tehnik-tehnik menyusui perhatikan posisi bayi selamal menyusui dan lama menyusui.
c. Kaji putting
d. Berikan pelindung putting payudara khusus (misalnya pelindung eschmann) untuk pasien menyusui dengan putting masuk atau datar.
10. Ancietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi atau kontak intervensi personal, kebutuhan tidak terpenuhi.
Intervensi :
a. Dorong keberadaan atau partisipasi dari pasangan
b. Tentukan tingkat ansietas pasien dan sumber dari masalah
c. Berikan informasi yang akurat tentang keadaan pasien.
11. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan, kerusakan persepsi, imobilisasi.
Intervensi :
a. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
b. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional.
c. Berikan atau bantu untuk melakukan mobilisasi bertahap.
Menurut Carpenito (2001 : 160) fokus intervensi pada pasien dengan sectio caesaria antara lain :
1. Resiko tinggi kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pendarahan.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda vital, kondisi fundus uteri, frekuensi perdarahan.
b. Massage fundus bila terjadi atonia uteri.
c. Hindari massage fundus yang tidak perlu.
d. Pertahankan cairan parenteral sesuai dengan program.
e. Anjurkan untuk cairan per oral kecuali ada kontra indikasi.
2. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan imobilisasi dan efek anestesi.
Intervensi :
a. Perhatikan keteraturan dan kelancaran berkemih.
b. Ukur keadekuatan pengeluaran urin.
c. Pergunakan kateter jika perlu.
d. Anjurkan berkemih tiap 4-6 jam/lebih bila mungkin.
e. Jelaskan prosedur perawtan perineal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar